Salah
 satu jenis bahan bakar yang melimpah di dunia adalah batu bara. 
Pembakaran batu bara merupakan metode pemanfaatan batu bara yang telah 
sekian lama dilakukan. Masalah yang muncul sebagai akibat pembakaran 
langsung batu bara adalah emisi gas sulfur dioksida. Sulfur yang 
terdapat dalam batu bara perlu disingkirkan karena sulfur dapat 
menyebabkan sejumlah dampak negatif bagi lingkungan.
     
Energi
 batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, 
terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Hal ini disebabkan oleh
 oksida-oksida belerang yang timbul akibat pembakaran batubara tersebut 
sehingga mampu menimbulkan hujan asam. Sulfur batubara juga dapat 
menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida 
belerang merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan 
aroma masakan atau minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara 
(briket), sehingga menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman,
 serta berbahaya bagi kesehatan (pernafasan). 
Penyingkiran
 sulfur pada batubara dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu fisika, 
kimiawi, dan biologis. Penyingkiran sulfur secara biologis atau 
biodesulfurisasi adalah metode penyingkiran sulfur dengan menggunakan 
mikroba yang paling murah dan paling sederhana. Ada beberapa faktor yang
 dapat mempengaruhi biodesulfurisasi batubara, yaitu: temperatur, pH, 
medium nutrisi, konsentrasi sel, konsentrasi batu bara, ukuran partikel,
 komposisi medium, kecepatan aerasi COÌ, penambahan partikulat dan 
surfaktan, serta interaksi dengan mikroorganisme lain. Cara yang tepat 
untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal
 combustion melalui desulfurisasi batubara.
Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi batubara adalah secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi.
Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi batubara adalah secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi.
Dalam
 proses penanganan limbah pertambangan secara mikrobiologi menggunakan 
bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. 
Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih 
mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki 
kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan Thiobacillus 
thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun 
tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi. 
Adanya
 oksidasi pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di lahan
 sulfat masam. Menurut  Dent (1986);  Alloway dan Ayres (1997) proses 
oksidasi pirit pada tanah sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan 
melibatkan proses kimia serta mikrobiologi. Mula-mula oksigen terlarut 
dalam air tanah bereaksi lambat dengan pirit, menghasilkan besi fero (Fe2+) dan sulfat atau unsur belerang. Reaksi tersebut adalah sebagai berikut :
                       FeS2 + ½ O2 + 2 H+        à             Fe2+ + 2 S + H2O
Oksidasi
 belerang oleh oksigen terjadi sangat lambat, tetapi dengan bantuan 
bakteri autotrop yang berperan sebagai katalisator, proses berjalan 
dengan reaksi sebagai berikut:
                         S + 3/2  O2 + H2O       à            SO42- + 2 H+
Menurut Anonim (2002b), bakteri tersebut adalah Thiobacillus thiooxidans dan
  merupakan bakteri chemolithotrophs yang menggunakan S yang tereduksi 
sebagai sumber energi. Asam sulfat merupakan hasil akhir dari reaksi 
tersebut dan menyebabkan pH lingkungan disekitarnya 2 atau kurang. 
Menurut Anonim (2002a) beberapa bakteri pengoksidasi yang toleran 
terhadap kemasaman adalah Thiobacillus ferrooxidans, Thiobacillus thiooxidans pada pH 2-3, dan Thiobacillus acidophilus pada pH 1,4. 
Menurut
  Breemen (1993), kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit 
ditentukan oleh jumlah pirit, kecepatan oksidasi, kecepatan perubahan 
hasil oksidasi, dan kapasitas netralisasi.
Dari
 uraian proses oksidasi senyawa pirit diatas terlihat bahwa 
mikroorganisma (bakteri pengoksidasi) sangat berperan sekali dalam 
proses oksidasi senyawa pirit, baik sebagai pengoksidasi sulfat maupun 
besi. Tanpa adanya bakteri sebagai katalisator proses oksidasi secara 
kimia berjalan sangat lambat. Berdasarkan perhitungan, oksidasi yang 
disebabkan oleh mikroba  beberapa ratus kali lipat lebih besar dibanding
 oksidasi secara kimia.
Proses
 oksidasi senyawa pirit dan reduksi dari ion atau senyawa yang 
dihasilkannya terjadi secara kimia dan biologi.Dalam proses penanganan 
limbah pertambangan secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus
 ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua 
bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. 
Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan 
sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi 
sulfur dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan 
setelah besi teroksidasi.  
Tidak ada komentar:
Posting Komentar