Kamis, 12 Juli 2012

penanganan limbah cair disekitar kita

Berikut adalah beberapa tehnik pengolahan limbah B3 (Setiyono, 2002) antara lain :
        1. Netralisasi (pengolahan secara kimia)
           Proses netralisasi diperlukan apabila kondisi limbah masih berada di luar baku mutu limbah (pH 6-8), sebab limbah di luar kondisi tersebut dapat bersifat racun atau korosif. Netralisasi dilakukan dengan mencampur limbah yang bersifat asam dengan limbah yang bersifat basa. Pencampuran dilakukan dalam suatu bak equalisasi atau tangki netralisasi.
           Netralisasi dengan bahan kimia dilakukan dengan menambahkan bahan yang bersifat asam kuat atau basa kuat. Air limbah yang bersifat asam umumnya dinetralkan dengan larutan kapur (Ca(OH)2), soda kostik (NaOH) atau natrium karbonat (Na2CO3). Air limbah yang bersifat basa dinetralkan dengan asam kuat seperti asam sulfat (H2SO4), HCI atau dengan memasukkan gas CO2 melalui bagian bawah tangki netralisasi.
        2. Pengendapan
           Apabila konsentrasi logam berat di dalam air limbah cukup tinggi, maka logam dapat dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan menjadi bentuk hidroksidanya. Hal ini dilakukan dengan larutan kapur (Ca(OH)2) atau soda kostik (NaOH) dengan memperhatikan kondisi pH akhir dari larutan. Pengendapan optimal akan terjadi pada kondisi pH dimana hidroksida logam tersebut mempunyai nilai kelarutan minimum.
          3. Koagulasi dan Flokasi (pengolahan secara kimia)
            Digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan jika kecepatan pengendapan secara alami padatan tersebut lambat atau tidak efisien. Koagulasi dilakukan dengan menambahkan bahan kimia koagulan ke dalam air limbah. Koagulan yang sering digunakan adalah tawas (Al2(SO4)3).18H20; FeC13; FeSO4.7H20; dan lain-lain.
           4. Evaporasi (penyisihan komponen-komponen yang spesifik)
Evaporasi pada umumnya dilakukan untuk menguapkan pelarut yang tercampur dalam limbah, sehingga pelarut terpisah dan dapat diisolasi kembali. Evaporasi didasarkan pada sifat pelarut yang memiliki titik didih yang berbeda dengan senyawa lainnya.
            5. Insinerasi
Insinerator adalah alat untuk membakar sampah padat, terutama untuk mengolah limbah B3 yang perlu syarat teknis pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat. Pengolahan secara insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3. Ukuran, desain dan spesifikasi insinerator yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik dan jumlah limbah yang akan diolah. Insinerator dilengkapi dengan alat pencegah pencemar udara untuk memenuhi standar emisi.

Bakteri Thiobacillus ferrooxidans sebagai penanganan limbah pertambangan (Batu Bara)

Salah satu jenis bahan bakar yang melimpah di dunia adalah batu bara. Pembakaran batu bara merupakan metode pemanfaatan batu bara yang telah sekian lama dilakukan. Masalah yang muncul sebagai akibat pembakaran langsung batu bara adalah emisi gas sulfur dioksida. Sulfur yang terdapat dalam batu bara perlu disingkirkan karena sulfur dapat menyebabkan sejumlah dampak negatif bagi lingkungan.
Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Hal ini disebabkan oleh oksida-oksida belerang yang timbul akibat pembakaran batubara tersebut sehingga mampu menimbulkan hujan asam. Sulfur batubara juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida belerang merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma masakan atau minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket), sehingga menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta berbahaya bagi kesehatan (pernafasan).
Penyingkiran sulfur pada batubara dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu fisika, kimiawi, dan biologis. Penyingkiran sulfur secara biologis atau biodesulfurisasi adalah metode penyingkiran sulfur dengan menggunakan mikroba yang paling murah dan paling sederhana. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi biodesulfurisasi batubara, yaitu: temperatur, pH, medium nutrisi, konsentrasi sel, konsentrasi batu bara, ukuran partikel, komposisi medium, kecepatan aerasi COÌ, penambahan partikulat dan surfaktan, serta interaksi dengan mikroorganisme lain. Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi batubara.
Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi batubara adalah secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi.
Dalam proses penanganan limbah pertambangan secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi.

Adanya oksidasi pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di lahan sulfat masam. Menurut Dent (1986); Alloway dan Ayres (1997) proses oksidasi pirit pada tanah sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan melibatkan proses kimia serta mikrobiologi. Mula-mula oksigen terlarut dalam air tanah bereaksi lambat dengan pirit, menghasilkan besi fero (Fe2+) dan sulfat atau unsur belerang. Reaksi tersebut adalah sebagai berikut :
FeS2 + ½ O2 + 2 H+ à Fe2+ + 2 S + H2O
Oksidasi belerang oleh oksigen terjadi sangat lambat, tetapi dengan bantuan bakteri autotrop yang berperan sebagai katalisator, proses berjalan dengan reaksi sebagai berikut:
S + 3/2 O2 + H2O à SO42- + 2 H+
Menurut Anonim (2002b), bakteri tersebut adalah Thiobacillus thiooxidans dan merupakan bakteri chemolithotrophs yang menggunakan S yang tereduksi sebagai sumber energi. Asam sulfat merupakan hasil akhir dari reaksi tersebut dan menyebabkan pH lingkungan disekitarnya 2 atau kurang. Menurut Anonim (2002a) beberapa bakteri pengoksidasi yang toleran terhadap kemasaman adalah Thiobacillus ferrooxidans, Thiobacillus thiooxidans pada pH 2-3, dan Thiobacillus acidophilus pada pH 1,4.
Menurut Breemen (1993), kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit ditentukan oleh jumlah pirit, kecepatan oksidasi, kecepatan perubahan hasil oksidasi, dan kapasitas netralisasi.
Dari uraian proses oksidasi senyawa pirit diatas terlihat bahwa mikroorganisma (bakteri pengoksidasi) sangat berperan sekali dalam proses oksidasi senyawa pirit, baik sebagai pengoksidasi sulfat maupun besi. Tanpa adanya bakteri sebagai katalisator proses oksidasi secara kimia berjalan sangat lambat. Berdasarkan perhitungan, oksidasi yang disebabkan oleh mikroba beberapa ratus kali lipat lebih besar dibanding oksidasi secara kimia.
Proses oksidasi senyawa pirit dan reduksi dari ion atau senyawa yang dihasilkannya terjadi secara kimia dan biologi.Dalam proses penanganan limbah pertambangan secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi.